Berita Hari Ini

Berita

Guritan “KERIYE RUMBANG NGEMPANG LEMATANG

Saturday 11 May 2013

Uuuuuy Tembay uway tembay lengguway Tembay bejejak di pantunan “Pantun mamak ngambik buluh Ambik ujung buwang di pangkal Ambik di tengah njadi sigian Pacak dibuwat sambang ayik Ayik keghing sambang dikepit Njadi peranti nebah guritan”. Dide mandak pantun di sane Pantunan masih diganjurkan “Pantun dicare ughang dusun Minjam pahat minjam landasan Minjam mate-pisaw landap Minjam adat dusun-laman Minjam care kandik berucap” Iluk niyan mangkal pantunan Lah iluk pule mangkal guritan Guritan ini kami batasi Guritan care jeme baghi Cerite sukat KERIYE RUMBAK Lanang gedang NGEMPANG LEMATANG Kamu ndak tau ceriteannye Aningi kuday mangke sampay Uuuuuy Seliyuk selimbang alay Betemu muware sangkup tanjungan Singgan dikukup aban putih Sibang disinjar mate-aghi Di bawah langit teterukup Di pucuk bumi tarebentang Kah pantak undur bekelam Tentangan bukit Isaw-isaw Balik sane kumpay berapat Balik ke sini kumpay teghapung Balik sane banjaran umbak Balik ke sini banjaran bungin Berekat sepate sesumbaran Nggah kelaway alap ungkay Nggah rapitan tanah mudik. Artinya: Oooooi Tembay uway tembay lengguway (mula dibuka cerita) Mula berawal pada pantun (perumpamaan) Pantun paman mengambil bambu Diambil bagian ujung, dibuang bagian pangkal Diambil bagian tengah Yang dapat dibuat sambai Jika air kering (tidak ada air) Sambang dikepit (dibawa di bawah ketiak) Dijadikan alat untuk menuturkan guritan Tidak berhenti pantun di bagian itu Pantunan (perumpamaan) masih diteruskan “yaitu pantun (seumpama) orang di dusun Meminjam pahat meminjam landasan Meminjam mata parang yang tajam Meminjam (memakai) adat kebiasaan dusun-laman Meminjam cara untuk bertutur” Sungguh baik memulai pantunan (kisahan/pemisahan) Sudah bagus pula untuk memulai guritan Guritan ini kami batasi Guritan cara orang-orang dulu Cerita tentang kehidupan KERIYE RUMBAK Lelaki perkasa yang membendung sungai Lematang Kamu mau tau ceritanya? Dengarkan dulu supaya sampai Oooooi Sekelokan seputar pohon alay Bertemu muara yang sempit Terlihat sepertiditutupi awan putih Ketika disinari cahaya matahari Di bawah langit tertelungkup Di atas bumi terbentang Akan membuat rasa-rasa ingin menyepi di situ Setentang dengan bukit isaw-isaw Ke sanalah kumpay (nama jenis tumbuhan lebak berkumpul) Ke sinilah kumpay terapung Ke arah sana barisan ombak berkejar-kejaran Ke sanalah juga tumpukan pasir Berkat sampah dan semboyan Dengan saudara perempuan yang cantik lagi jenjang Dengan saudara-saudara tetangga di uluan Sumber : (Guritan “KERIYE RUMBANG NGEMPANG LEMATANG” dituturkan oleh Irfan dan Sarkowi, ditranskripsikan penulis dan diterjemahkan A. Bastari Suan)

Masjid Agung Puyang Awak, Tertua di Sumsel

Cikal bakal agama Islam di Pagaralam diduga kuat sudah ada sejak abad ke-15 masehi. Ini dibuktikan adanya rumah ibadah di Dusun Prahu Dipo, Kelurahan Prahu Dipo, Kecamatan Dempo Selatan. Rumah ibadah ini dibangun ulama asal Jawa, Syech Nurqodim Al-Baharudin, bergelar Puyang Awak. Masjid ini hanya beratapkan seng tanpa dinding. Masyarakat disini menyebutkan sebagai Masjid Agung Puyang Awak. Kondisi Masjid Puyang Awak yang dibangun di abad ke-15 [FOTO: ALMI/SUMEKS] H Bujang Kornawi (70), keturunan Puyang Awak mengatakan, masjid ini dibangun pada 1479. “Syech Baharudin (Puyang Awak) adalah pencipta adat Semende. Sebuah adat yang mentransformasi perilaku rumah tangga Nabi Muhammad SAW. Beliau pencetus falsafah Jagad Besemah Libagh Semende Panjang, yaitu negara demokrasi pertama di Nusantara rentang tahun 1479-1850.” Tetapi ‘negara’ itu runtuh akibat peperangan selama 17 tahun (1883-1850) melawan Belanda. “Saat kalah, Puyang Awak menetap di Dusun Prahu Dipo menetap dan mendirikan masjid dan menyiarkan agama Islam ke masyarakat Besemah dan Semende,” katanya. Syech Baharudin menginginkan suatu daulah seperti Madinah al Munawarah pada masa Rasulullah SAW. Namun demi menjaga persatuan umat Islam, beliau memutuskan hijrah ke Sumatera. Dari tanah Banten beliau menyeberang ke Tanjung Tua-Ujung paling selatan Sumatera, kemudian menyusuri pesisir timur, yaitu Ketapang, Menggala, Komering, Palembang, Muara Enim, dan tiba di Tanah Pasemah lalu menetap di Perdipe (Dusun Prahu Dipo). Pada 1840, beliau mendirikan Masjid Agung Puyang Awak dan Dusun Prahu Dipo dibumihanguskan Belanda. Puluhan tahun berikutnya, pada 1925, H Umar, keturunan Puyang Awak mencoba membangun Dusun Prahu Dipo beriringan membangun masjid juga. Ironisnya masjid berukuran 79 x 81 m pada September 1945 kembali dibumihanguskan Jepang. “Tapi ini tak menyurutkan generasi Puyang Awak menjaga kelestarian Masjid ini. Setelah Indonesia merdeka, dan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, masjid dibangun H Umar. Lalu rencana tersebut terwujud, karena 1 Januari 1950 masjid ini dibangun kembali untuk kesekian kalinya,” jelasnya. Ironisnya, dari rentang waktu tersebut, konstruksi bangunan tak terlalu kokoh, akhirnya pada 1975, masjid ini pun ambruk. “Lalu pada 1974 rencana pembangunan kembali dilakukan, tetapi terealisasi 1983,” katanya. Masjid tersebut hanya beratapkan seng biasa tanpa dinding, hanya dilapisi kayu, dengan bangunan seluas 13 x 20 m. Dari jauh mesjid ini berbentuk padepokan, sebuah bangunan yang kerap ada pada bangunan pesantren. “Saat ini, masjid tersebut digunakan untuk salat Jumat dan aktivitas keagamaan di Ramadan, salat Idulfitri dan Iduladha, sedangkan untuk salat lima waktu, masjid ini jarang digunakan warga. Pasalnya, kondisi masjid tidak layak lagi. Kendati demikian, kami generasi Puyang Awak senantiasa menjaga kelestarian masjid tertua ini,” tukasnya. Sementara itu, Marbot dan Subari, pengurus masjid membenarkan masjid ini tidak lagi digunakan warga untuk salat lima waktu, mengingat keberadaan masjid yang dinilai sudah tua dan minimnya generasi muda yang aktif mengurus masjid peninggalan sejarah penyebaran umat Islam ini. “Semenjak saya masuk ke daerah ini sekitar 34 tahun lalu, saya aktif mengurus masjid dan memukul beduk sebagai tanda adzan,” harapnya.***infokitonet ***disadur dari sebuah tulisan di harian sumeks***

Besemah Dalam Sejarah Legenda

orang-orang Basemah pernah dituliskan oleh JSG Grambreg, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang ditulisnya tahun 1865 sebagai berikut : " Barang siapa yang mendaki Bukit Barisan dari arah Bengkulu, kemudian menjejakkan kaki di tanah kerajaan Palembang yang begitu luas dan barang siapa yang melangkahkan kakinya dari arah utara Ampat Lawang (negeri empat gerbang) menuju ke dataran Lintang yang indah, sehingga ia mencapai kaki sebelah Barat Gunung Dempo, maka sudah pastilah ia di negeri orang Pasemah. Jika ia berjalan mengelilingi kaki gunung berapi itu, maka akan tibalah ia di sisi timur dataran tinggi yang luas yang menikung agak ke arah Tenggara, dan jika dari situ ia berjalan terus lebih ke arah Timur lagi hingga dataran tinggi itu berakhir pada sederetan pengunungan tempat, dari sisi itu, terbentuk perbatasan alami antara negeri Pasemah yang merdeka dan wilayah kekuasaan Hindia Belanda". Dari kutipan itu tampak bahwa saat itu wilayah Pasemah masih belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Operasi-operasi militer Belanda untuk menaklukkan Pasemah sendiri berlangsung lama, dari 1821 sampai 1867 Johan Hanafiah budayawan Sumatra Selatan, dalam sekapur sirih buku Sumatra Selatan Melawan Penjajah Abad 19 tersebut menyebutkan bahwa perlawanan orang Pasemah dan sekitarnya ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan abad 19, berlangsung hampir 50 tahun lamanya. Johan Hanafiah juga menyatakan bahwa pada awalnya orang-orang luas, khususnya orang Eropa, tidak mengenali siapa sebenarnya orang-orang Pasemah. Orang Inggris, seperti Thomas Stamford Rafless yang pahlawan perang Inggris melawan Belanda di Jawa (1811) dan terakhir mendapat kedudukan di Bengkulu dengan pangkat besar (1817-1824) menyebutnya dengan Passumah. Dalam The British History in West Sumatra yang ditulis oleh John Bastin, disebutkan bahwa bandit-bandit yang tidak tahu hukum (lawless) dan gagah berani dari tanah Passumah pernah menyerang distrik Manna (salah satu nama kota di bengkulu selatan) tahun 1797. Disebutkan pula bahwa pada tahun 1818, Inggris mengalami dua malapetaka di daerah-daerah Selatan yakni perang dengan orang-orang Passumah dan kematian-kematian karena penyakit cacar. Pemakaian nama Passumah sebagaimana digunakan oleh orang Inggris tersebut rupanya sudah pernah pula muncul pada laporan orang Portugis jauh sebelumnya. Nama Pasemah yang kini dikenal sebetulnya adalah lebih karena kesalahan pengucapan orang Belanda, demikian menurut Mohammad Saman seorang budayawan dan sesepuh besemah. Adapun pengucapan yang benar adalah Besemah sebagaimana masih digunakan oleh penduduk yang bermukim di Pagaralam Suku Besemah, yang sering disebut sebagai suku yang suka damai tetapi juga suka perang (Vrijheid lievende en oorlogzuchtige bergbewoners) adalah suku penting yang terdapat di Sumatera Selatan. Pada zaman sebelum Masehi (SM), pada peta yang dibuat oleh Muhammad Yamin, belum tampak nama suku-suku lain yang tercantum, kecuali suku Besemah. Local Jenius Suku Besemah, sebagai salah satu pemilik kebudayaan Megalitikum, disebut suku yang memiliki local genius. Tetapi sayang, tidak diwariskan kepada anak-cucu (keturunannya). Mengenai asal-usul suku Besemah, hingga saat ini masih diliputi kabut rahasia. Yang ada hanyalah cerita-cerita yang bersifat legenda atau mitos, yaitu mitos Atung Bungsu, yang merupakan salah satu di antara 7 orang anak ratu (= raja) Majapahit, yang melakukan perjalanan menelusuri sungai Lematang, akhirnya memilih tempat bermukim di dusun Benuakeling. Atung Bungsu menikah dengan putri Ratu Benuakeling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melalui keturunannya : Bujang Jawe (Puyang Diwate), Puyang Mandulike, Puyang Sake Semenung, Puyang Sake Sepadi, Puyang Sake Seghatus, dan puyang Sake Seketi yang menjadikan penduduk Jagat Besemah. Cerita tentang asal-usul suku Besemah sangat mistis, irasional, dan sukar dipercaya kebenarannya. Masalahnya bukan persoalan benar atau salah, dipercaya atau tidak, akan tetapi unsur yang sangat penting dalam mitos atau legenda adalah peran dan fungsinya sebagai pemersatu kehidupan suatu masyarakat (jeme Besemah). Mitos atau legenda ini dapat menjadi antisipasi disintegrasi kesatuan dan persatuan jeme Besemah di mana pun mereka berada. Hal ini sudah sudah tampak dalam beberapa dekade, terutama setelah pemerintahan marga dihapuskan (UU No.5 Tahun 1979). Perlu selalu ditanamkan perasaan dan keyakinan bahwa jeme Besemah itu (termasuk jeme Semende dan jeme Kisam) berasal dari satu keturunan BERDIRINYA DUSUN DI JAGAT BESEMAH Puyang Kunduran membuat dusun Masambulau (Ulu Manak) dan di kemudian hari anak-cucunya membuat dusun Gunungkerte, termasuk Sumbay Besak (Sumbay Besar), Puyang Keriye Beraim membuat dusun Gunungkaye, dan Sumur. Kemudian anak-cucu Keriye Beraim membuat dusun Talangtinggi dan Muarajauh (Ulu Lurah), Puyang Belirang membuat dusun Semahpure dan anak cucunya pindah pula membuat dusun di Ulu Manak. Puyang Raje Nyawe pindah pula membuat dusun Perdipe, Petani dan Pajarbulan. Anak cucunya pindah pula membuat dusun Alundua, Sandarangin, Selibar, Rambaikace, Sukemerindu, Kutaraye, Babatan, Sadan, Nantigiri, Lubuksaung, Serambi, Bendaraji, Ulu Lintang Bangke, Singapure, Buluhlebar, Gunungliwat, Tanjungberingin, Ayikdingin, Muarasindang, Tebatbenawah, Rempasai, Karanganyar, semuanya masuk Sumbay Besak. Puyang Raje Nyawe pindah ke Semende, membuat dusun Pajarbulan. Puyang Raje Nyawe kembali ke dusun Perdipe menyebarkan agama Islam dan adat istiadat perkawinan secara islami. Dari Semende banyak penduduk yang pindah keKisam dan masih banyak cerita mengenai pendirian dusun-dusun di Tanah Besemah ini. Sistem Pemerintahan Tradisional Sistem pemerintahan tradisional di daerah Besemah disebut Lampik Empat Merdike Due yang dipimpin oleh kepala-kepala sumbay. Besemah waktu itu merupakan suatu republik yang paling demokratis. Tanggungjawab dan kesetiaan sangat ketat dibina oleh orang Besemah. Rasa solidaritas dan loyalitas yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan prajurit-prajurit Besemah dapat melakukan perlawanan terhadap Kolonialisme.Dari kutipan itu tampak bahwa saat itu wilayah Pasemah masih belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Operasi-operasi militer Belanda untuk menaklukkan Pasemah sendiri berlangsung lama,dari 1821 sampai 1867 Johan Hanafiah budayawan Sumatra Selatan, dalam sekapur sirih buku Sumatra Selatan Melawan Penjajah Abad 19 tersebut menyebutkan bahwa perlawanan orang Pasemah dan sekitarnya ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan abad 19, berlangsung hampir 50 tahun lamanya. Johan Hanafiah juga menyatakan bahwa pada awalnya orang-orang luas, khususnya orang Eropa, tidak mengenali siapa sebenarnya orang-orang Pasemah. Orang Inggris, seperti Thomas Stamford Rafless yang pahlawan perang Inggris melawan Belanda di Jawa (1811) dan terakhir mendapat kedudukan di Bengkulu dengan pangkat besar (1817-1824) menyebutnya dengan Passumah. Dalam The British History in West Sumatra yang ditulis oleh John Bastin, disebutkan bahwa bandit-bandit yang tidak tahu hukum (lawless) dan gagah berani dari tanah Passumah pernah menyerang distrik Manna (salah satu nama kota di bengkulu selatan) tahun 1797.

WOW...Danau Berwarna Merah Di Pagar Alam Sumatera Selatan

Warga Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, menemukan danau yang permukaan airnya berwarna merah dengan luas 6 hektar di perbatasan Provinsi Bengkulu atau sekitar bukit Raje Mandare. Keberadaan danau ini juga baru dapat dijangkau dalam waktu sekitar dua hari dengan berjalan kaki melewati kawasan hutan dan bukit Rimbacandi, Kelurahan Candi Jaya, Kecamatan Dempo Selatan. "Kami bersama rombongan 21 orang, termasuk dua paranormal, melakukan ekspedisi di kawasan Rimbacandi dengan menelusuri tebing, hutan, dan perbukitan selama dua hari baru sampai di lokasi danau merah tersebut," kata Asmidi, warga setempat, di Pagar Alam. Letak danau itu di sekitar perbukitan Raje Mandare, di perbatasan antara Kota Pagar Alam dan Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, yang terkenal dengan banyak simpanan sejumlah peninggalan bersejarah, termasuk candi. Menurut dia, di daerah itu memang banyak hal yang aneh bisa ditemukan. Bukan hanya ada danau dengan air berwarna merah, melainkan juga ada lokasi yang menimbulkan aroma pandan bila malam hari. "Namun anehnya, meskipun dilihat dari permukaan berwarna merah, tapi ketika air diambil menggunakan tangan dan diangkat ke permukaan, justru warnanya seperti biasa, bening dan jernih," kata dia. Selain danau merah, di hutan Raje Mandare yang penuh keanehan itu juga ada sejumlah satwa raksasa. Misalnya, kelabang dengan lebar 30 cm dan panjangnya 50 cm, burung raksasa, dan kerbau yang telinganya ada sarang lebahnya.

SEJARAH TERBENTUKNYA DESA PAGAR ALAM

Diceritakan bahwa nenek moyang (kepuyangan) Pagar Alam berasal dari Pasemah Pagar Alam yang sengaja merantau untuk mencari kebun yang baru. Dahulunya dusun Pagar Alam berada di Muara Air Kelam kemudian mengalami perpindahan sampai 4 kali, yaitu: • Ke Desa Pelajaran (pinggir Air Kelam) • Ke Desa Penantian, • Ke Desa Lawang Agung • setelah itu pindah lagi ke Tanjung Limus (Pagar Alam sekarang) Desa Pagar Alam memiliki 3 kepuyangan yaitu: • Puyang Kedum • Senarum (Pangeran) • Raden Layangan Diceritakan sekilas oleh nara sumber bahwa Puyang Kedum memiliki kesaktian yaitu bisa terbang ke pasemah, hal ini dikisahkan semasa anak beliau mau menikah gong atau canang untuk menikahkan itu tidak ada jadi dengan kesaktian beliau pergi mengambilnya ke Pasemah dan sampai sebelum acara pernikahan dimulai. Desa Pagar Alam dulunya bernama dusun Tanjung Limus, sebab dinamakan Tanjung Limus karena disitu dulunya terdapat pohon limus (ambacang) yang letaknya di penanjungan dusun. Pada tahun 1912 dengan petunjuk dari seorang tokoh masyarakat yang bernama Dul Bantan maka dirubahlah dusun Tanjung Limus menjadi Desa Pagar Alam. Dinamakan Pagar Alam karena atas petunjuk dari puyang ketunggalan Pasemah untuk membawa nama Pagar Alam ke daerah yang mereka tempati.

ARTI DAN MAKNA KOTA PAGAR ALAM

Thursday 9 May 2013

1. a. Padi berjumlah 17 (tujuh belas) butir melambangkan tanggal 17 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia; b. Bambu runcing 2 (dua) buah, setiap bambu terdiri dari 4 ruas, sehingga berjumlah 4 ruas, melambangkan bulan 8 (bulan delapan), bulan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia; c. 5 (lima) tandan kopi, setiap tandan terdiri dari 9 (sembilan) buah biji, sehingga berjumlah 45 (empat puluh lima) buah biji, melambangkan tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. 2 a. Bambu runcing melambangkan Kota Pagar Alam; b. Pita warna merah putih pengikat bambu runcing melambangkan eratnya ikatan persatuan dan kesatuan rakyat dalam melawan penjajah. 3. a. Pita bertuliskan “BESEMAH KOTA PERJUANGAN” terdiri dari 21 (dua puluh satu) hurup melambangkan tanggal berdirinya Kota Pagar Alam sekaligus motto yang mengandung pengertian bahwa perjuangan masyarakat besemah belum selesai dan akan terus berlanjut; b. Bangunan gedung berjumlah 6 (enam) buah, melambangkan bulan 6 (bulan juni) bulan berdirinya Kota Pagar Alam; c. Rumah adat besemah berwarna hitam berjumlah 2001, melambangkan tahun berdirinya Kota Pagar Alam, penulisan Kota Pagar Alam terdiri dari dua suku kata; d. Tulisan Pagar Alam pada atap rumah adat besemah berwarna putih. 4. a. Gunung Dempo merupakan ciri khas geografi Daerah Kota Pagar Alam; b. Bangunan gedung di lembah Gunung Dempo melambangkan Kota; c. Latar belakang Gunung Dempo berwarna biru muda, melambangkan daerah perkebunan/pertanian dimana mayoritas masyarakatnya petani. 5. a. Petak warna putih, melambangkan cita-cita luhur dan kesucian; b. Petak warna hijau daun, melambangkan kesuburan tanah.

Awal Mule Besemah

Kata “besemah” mempunyai arti singkatan dari: Bersih, Sejuk, Aman, dan Ramah Tamah. Hanya itu saja artinya..? Setelah mengenal lebih dalam, kata BESEMAH ternyata mempunyai arti lain, tidak sekedar singkatan dari 4 kata seperti ditulis diatas. Besemah, berasal dari kata SEMAH yang merupakan nama sejenis ikan. Ikan ini adalah ikan khas daerah sekitar Gunung Dempo, dan diyakini saat ini menuju kepunahan. Selain berarti nama ikan, Semah juga merupakan nama sungai yang terdapat di desa Tebat Gunung, Kecamatan Dempo Selatan. Kota Pagaralam sendiri terdiri dari lima kecamatan, yaitu: Pagaralam Utara, Pagaralam Selatan, Dempo Utara, Dempo Tengah, dan Dempo Selatan. Di sungai Semah, diyakini merupakan tempat ikan Semah berada, yang ditemukan pertama kali oleh kakek leluhur di daerah tersebut, yaitu Puyang Atung Bungsu. Ikan Semah ini kemudian juga ditemukan di beberapa sungai di Pagaralam, sehingga kemudian muncul sebutan Besemah, yang berasal dari Ber (mempunyai, kemudian dilafalkan: “be”) Semah: Besemah. Sehingga wilayah Pagaralam dan sekitarnya, yang ditemukan ikan semah di sungai-sungainya yang banyak itu, disebut sebagai tanah Besemah hingga sekarang. Ada juga istilah yang sering terdengar, yaitu: Jagat Besemah. Ini adalah istilah yang diberikan untuk suatu masa kekuasaan dalam sejarah wilayah Besemah. Pemerintahan ini berpusat di Besemah Lebar atau sekarang di desa Banua Keling. Masa pemerintahan ini sekitar abad 14 Masehi, yang dipimpin oleh Puyang Atung Bungsu, dan berupa pemerintahan Keratuan. Wilayah Jagat Besemah ini meliputi Pagaralam (sekarang), dan juga sebagian Lampung, sebagian lagi wilayah di Sumatera Selatan (sebagian dari Lahat, Muara Enim, Empat Lawang), dan sebagian lagi wilayah di Bengkulu. Pada masa pendudukan Belanda, daerah Besemah juga dikenal sebagai basis pejuang Besemah yang merepotkan Belanda. Perang terbuka antara tentara Belanda dan pejuang Besemah terjadi pertama kali pada Juni 1866. Pertempuran ini terjadi di desa Guru Agung, tak jauh dari benteng Penandingan, yang merupakan benteng pertahanan pejuang Besemah. Kondisi perlawanan ini terus berlanjut hingga jaman kekuasaan Jepang, hingga kemudian tercapainya kemerdekaan Indonesia. Jika kita dalam perjalanan dari Lahat menuju ke Pagaralam, maka setelah memasuki wilayah Pagaralam, dan melintasi jembatan sungai Lematang, akan kita dapati tugu Besemah. Tugu yang diatasnya terdapat patung ikan besemah.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Jeme Pagaralam - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger